Jumat, 17 Mei 2013

Bank Syariah Dalam Perbankan Nasional


BAB I
PENDAHULUAN


Pengembangan perbankan yang didasarkan kepada konsep dan prinsip ekonomi Islam merupakan suatu inovasi dalam sistem perbankan internasional. Meskipun telah lama menjadi wacana pada kalangan publik dan para ilmuan muslim maupun nonmuslim, namun pendirian institusi bank Islam secara komersial dan formal belum lama terwujud. Salah satu bank terbesar di negara-negara arab, misalnya Bank Islam Faisal di Sudan dan Mesir, pertama berdiri pada tahun 1977 (Naser dan Moutinho, 1977). Sementara di kawasan Asia Tenggara, Bank Islam Malaysia Berhad telah didirikan pada tahun 1983 (Haron et. Al., 1994). Di Indonesia, bank Islam pertama adalah Bank Muamalat Indonesia (BMI) yang telah berdiri pada tahun 1992. Dalam kaitan ini, terdapat dua hal yang mendorong eksistensi dan perkembangan perbankan Islam – yang selanjutnya di sini disebut dengan bank syariah – adalah munculnya keinginan dan kebutuhan masyarakat serta keunggulan dan kelebihan yang dimiliki bank syariah.

Menurut ketentuan yang tercantum di dalam Peraturan Bank Indonesia nomor 2/8/PBI/2000, pasal I, Bank Syariah adalah “bank umum sebagaimana yang dimaksud dalam undang-undang nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan dan telah diubah dengan undang-undang nomor 10 tahun 1998 yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syari’ah, termasuk unit usaha syariah dan kantor cabang bank asing yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syari’ah”. Perbankan syariah atau Perbankan Islam adalah suatu sistem perbankan yang dikembangkan berdasarkan syariah (hukum) islam.



BAB II
PEMBAHASAN
BANK SYARIAH
DALAM SISTEM PERBANKAN NASIONAL


  1. Kebijakan pengembangan perbankan syari’ah di Indonesia
Perkembangan bank syariah di Indonesia dewasa ini berjalan dengan sangat pesat. Walaupun jumlah bank, jumlah kantor bank dan jumlah total asset bank syariah masih sangat kecil apabila dibandingkan dengan bank konvensional. Kita telah membuktikan bahwa perkembangan perbankan syariah yang baru terjadi setelah diberlakukannya Undang – Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang – Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.

Dengan berlakunya Undang – Undang Nomor 10 Tahun 1998 tersebut telah memberikan dasar hukum yang lebih kokoh dan peluang yang lebih besar dalam pengembangan bank syariah di Indonesia. Undang – Undang Nomor 10 Tahun 1998 tersebut diharapkan dapat mendorong pengembangan jaringan kantor bank syariah yang dapat lebih menjangkau masyarakat yang membutuhkan diseluruh Indonesia. Dengan diberlakukannya Undang – Undangg tersebut, maka legalitas hukum bank dari aspek kelembagaan dan kegiatan usaha bank syariah telah diakomodir dengan jelas dan menjadi landasan yuridis yang kuat bagi perbankan dan para pihak yang berkepentingan.

Undang – Undang tersebut telah memberikan peluang yang semakin besar bagi berkembangnya bank – bank syariah. Sebagai bahan arahan kebijakan pengembangan bank syariah sebagai bagian dari kebijakan pemantapan ketahanan sitem perbankan nasional pada akhir tahun 2002, bank Indonesia membuat “ blue print perbankan syariah”. Arah kebujakan blue print tersebut, sejalan pula dengan arsitektur perbankan syariah Indonesia yang mencakup arah pengembangan system perbankan nasional yang menjadi landasan bagi bak Indonesia, lembaga perbankan syariah lainnya dalam mengembangkan perbankan syariah sepuluh tahun kedepan.

Dengan berdasarkan kepada blue print pengembangan perbankan syariah tersebut, pengembangan perbankan syariah dilakukan secara lebih terarah. Dalam blue print itu berisikan pula kebijakan dan inisiatif – inisiatif strategis dan terencana dengan tahapan yang jelas untuk mencapai sasaran pengembangan jangka panjang industry perbankan syariah dari tahun 2002 – 2011. Adapun target pencapaian pengembangan system perbankan syariah nasional adalah memiliki daya saing yang tinggi dengan tetap berpegangan pada nilai – nilai syariah, memiliki peran signifikan dalam system perekonomian nasional serta perbaikan kesejahteraan rakyat dan memiliki kemampuan untuk bersaing secara global dengan pemenuhan standar operasional keuangan internasional.

Dalam blue print pengembangan perbankan syariah tersebut, selain mengidentifikasi tantangan utama yang akan dihadapi oleh industry perbankan syariah pada tahun – tahun mendatang, juga menjelaskan visi, misi dan sasaran pengembangan perbankan syariah. Disamping itu dalam blue print itu juga ditetapkan sekumpulan inisiatif strategis dengan prioritas yang jelas untuk menjawab semua tantangan utama dan mencapai sasaran pengembangan perbankan syariah pada sepuluh tahun mendatang.

Berdasarkan nilai – nilai syariah, maka visi pengembangan perbankan syariah di Indonesia berdasarkan blu print pengembangan perbankan syariah tersebut, yaitu terwujudnya system perbankan syariah yang kompetitif, efisien, dan memenuhi prinsip kehati – hatian yang mampu mendukung sector riil secara nyata melakukan kegiatan pembiayaan berbasis bagi hasil (share based financing) dan transaksi riil dalam kerangka keadilan, tolong – menolong dan menuju kebaikan guna mencapai kemaslahatan masyarakat.

Selanjutnya dalam blue print pengembangan perbankan syariah Indonesia tersebut, juga dirumuskan sasaran pengembangan perbankan syariah di Indonesia dalam rangka mewujudkan visi yang sudah ditetapkan tersebut. Dikatakan bahwa sasaran pengembangan perbankan syariah di indonesia dibuat dengan mempertimbangkan kondisi actual, termasuk faktor – faktor yang berpengaruh dan kecenderungan  yang akan membentuk industri di masa yang akan datang, manfaat dan tantangan yang ada, serta kelebihan dan keterbatasan dari pelaku industry dan stakeholder lainnya. Adapaun sasaran pengembangan perbankan syariah sampai dengan tahun 2011 sebagai berikut :

  1. Terpenuhinya prinsip syariah dalam operasional perbankan
  2. Diterapkannya prinsip kehati – hatian dalam operasional perbankan syariah
  3. Terciptanya system perbankan syariah yang kompetitif dan efisien
  4. Terciptanya stabilitas sistemik serta terealisasinya kemanfaatan bagi masyarakat luas
Kemudian sebagai langkah konkret upaya pengembangan perbankan syariah di Indonesia, bank Indonesia telah merumuskan sebuah grand strategi pengembangan pasar perbankan syariah, sebagai strategi komprehensif pengembangan pasar yang meliputi aspek –aspek strategis yaitu penetapan visi 2010 sebagai industry perbankan syariah terkemuka di ASEAN, pembentukan citra baru perbankan syariah nasional yang bersifat inklusif dab universal, pemetaan pasar secara lebih akurat, pengembangan produk yang lebih beragam, peningkatan layanan, serta strategi komunikasi baru yang memposisikan perrbankan syariah lebih dari sekedar bank. Selanjutanya berbagai program konkret telah dan akan dilakukan sebagai tahap implementasi dari grand strategy pengembangan pasar keuangan perbankan syariah, antara lain sebagai berikut :

  1. Menerapkan visi baru pengembangan perbankan syariah pada fase I tahun 2008 membangun pemahaman perbankan syariah sebagai beyond banking, dengan pencapaian target asset sebesar Rp 50 triliun dan pertumbuhan industry sebesar 40%, fase II tahun 2009 menjadikan perbankan syariah Indonesia sebagai perbankan syariah paling atratif di ASEAN, dengan pencapaian target asset sebesar Rp 87 triliun dan pertumbuhan industry sebesar 75%. Fase III tahun 2010 menjadikan perbankan syariah Indonesia sebagai perbankan syariah terkemuka di ASEAN, dengan pencapaian target asset sebesar Rp 124 triliun dan pertumbuhan industry sebesar 81%.
  2. Program pencitraan baru perbankan syariah yang meliputi aspek positioning, differentiation dan branding. Positioning baru bank syariah sebagai perbankan yang saling menguntungkan kedua belah pihak , aspek diferensiasi dengan keunggulan kompetitif dengan produk dan skema yang beragam, transparan, kompeten dalam keuangan dan beretika, teknologi informasi yang selalu update dan user friendly, serta adanya ahli investasi keuangan syariah yang memadai. Sedangkan pada aspek branding adalah “ bank syariah lebih dari sekedar bank atau beyond banking”.
  3. Program pemetaan baru secara lebih akurat terhadap potensi pasar perbankan syariah yang secara umum mengarahkan pelayanan jasa bank syariah sebagai layanan universal attau bank bagi semua lapisan masyarakat dan semua segmen sesuai dengan strategi masing-masing bank syariah.
  4. Program pengembangan produk yang diarahkan kepada variasi produk yang beragam yang didukung oleh keunikan value yang ditawarkan (saling menguntungkan) dan dukungan jaringan kantor yang luas dan penggunaan standar nama produk yang mudah dipahami.
  5. Program peningkatan kualitas layanan yang didukung oleh SDM yang kompeten dan penyediaan teknologi informasi yang mampu memenuhi kebutuhan dan kepuasan nasabah serta mampu mengkomunikasikan produk dan jasa bank syariah kepada nasabah secara benar dan jelas dengan tetap memenuhi prinsip syariah.
  6. Program sosialisasi dan edukasi masyarakat secara lebih luas dan efesien melalui berbagai sarana komunikasi langsung maupun tidak langsung yang bertujuan untuk memberikan pemahaman tentang kemanfaatan produk serta jasa perbankan syariah yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat.
Selanjutnya pengembangan perbankan syariah di Indonesia harus tetap dilakukan dalam koridor kehati-hatian dan pemenuhan prinsip syariah. Dalam hal infrastruktur untuk pemenuhan prinsip syariah , MUI telah membentuk DSN sebagai satu-satunya pihak/lembaga yang bisa mengeluarkan fatwa terkait instrument keuangan syariah di Indonesia dan juga menetapkan DPS di bank dalam rangka meyakini operasional, produk dan jasa bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah telah memenuhi prinsip syariah.

  1. Sejarah perkembangan regulasi perbankan syariah di Indonesia
Berbagai perubahan politik di Indonesia dalam pertengahan kedua tahun 1950, juga membawa perubahan terhadap perkembangan industry perbankan. Proses nasionalisasi perusahaan-perusahaan belanda, juga dilakukan terhadap bank-bank milik belanda. Selanjutnya, situasi politik yang berkembang sejak Dekrit pada 5 juli 1959 juga sangat besar pengaruhnya terhadap industry perbankan di Indonesia, terutama dengan munculnya pemikiran pembentukan bank tunggal, yaitu dengan menggabungkan semua bank termasuk bank sentral menjadi bank Negara Indonesia.

Dengan berlakunya UU Nomor 13 tahun 1967 tentang pokok-pokok perbankan dan UU nomor 13 tahun 1968 tantang bank Indonesia, maka berakhirlah sejarah bank tunggal. Dengan 2 UU tersebut, industry perbankan selanjutnya ditata kembali. UU nomor 14 tahun 1967 mengatur secara komprehensif system perbankan yang berlaku pada masa itu. UU tersebut mengatur kembali tata perbankan nasional dengan harapan dapat lebih dimanfaatkan untuk kepentingan perkembangan ekonomi dan moneter.

Prakarsa lebih khusus menegenai pendirian bank islam di Indonesia baru dilakukan tahun 1990. Pada tanggal 18-20 agustus 1990, MUI menyelenggarakan lokakarya bunga bank dan perbankan di cisarua, bogor jawa barat. Hasil lokakarya tersebut kemudian dibahas lebih mendalam pada musyawarah nasional IV MUI di Jakarta dari tanggal 22-25 agustus 1990, yang menghasilkan amanat bagi pembentukan kelompok kerja pendirian bank islam di Indonesia. Kelompok kerja dimaksud disebut tim perbankan MUI dengan diberi tugas untuk melakukan pendekatan dan konsultasi dengan semuua pihak yang terkait. Sebagai hasil kerja tim perbankan MUI tersebut adalah berdirinya PT Bank Muamalat Indonesia , yang sesuai akta pendiriannya berdiri pada tanggal 1 november 1991. Sejak tanggal 1 mei 1992, BMI resmi beroperasi dengan modal awal sebesar Rp 106.126.382.000,00. Sampai bulan September 1999, BMI telah memiliki lebih dari 45 outlet yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Setalah berdirinya BMI yang diikuti oleh berdirinya BPRS-BPRS lainnya dan terbuktinya perbankan syariah tidak terkena imbas dari krisis moneter pada tahun 1998, maka akhirnya diikuti oleh berdirinya perbankan-perbankan umum membangun perbankan berbasis syariah.
Dalam perkembangannya, pengembangan perbankan syariah ini mendapatkan wadah dengan lahirnya UU nomor 7 tahun 1992 tentang perbankan, yang memberikan kesempatan kepada perbankan untuk menjalankan kegiatan usaha berdasarkan kepada prinsip konvensional dan prinsip bagi hasil. kegiatan usaha perbankan berdasarkan prinsip dan operasionalisasi perbankan berdasarkan prinsip syariah, yang kemudian dijabarkan lebih lanjut melalui peraturan pemerintah nomor 72 tahun 1992 tentang bank berdasarkan prinsip bagi hasil. peraturan pemerintah nomor 72 tahun 1992 mengatur lebih lanjut ketentuan usaha bank berdasarkan prinsip bagi hasil.

Selanjutnya pemberlakuan UU nomor 10 tahu 1998 yang mengubah UU nomor 7 tahun 1992, telah memberikan landasan hokum yang lebih kuat dan kesempatan yang lebih luas lagi bagi pengembangan perbankan syariah di Indonesia. Perundang-undangan tersebut memberi kesempatan yang luas untuk pengembangan jaringan perbankann syariah antara lain melalui izin pembukaan kantor cabang syariah oleh bank konvensional. Dengan kata lain, bank umum dimungkinkan untuk menjalankan kegiatan usahanya secara konvensional dan sekaligus dapat melakukannya berdasarkan prinsip syariah. UU nomor 10 tahun 1998 menjadi dasar hokum bagi penerapan dual banking system di Indonesia.

Berdasarkan UU nomor 10 tahun 1998, kedudukan perbankan syariah atau bagi hasil semakin kuat dan bahkan dapat disejajarkan kedudukannya dengan perbankan konvensional. Karena system perbankan nasional kita menganut dual banking system, maka oleh UU nomor 10 tahun 1998, bank umum yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional diperkenankanuntuk melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip bagi hasil atau prinsip syariah, baik itu dengan cara mendirikan kantor baru, mengkonversi kantor lama menjadi kantor bank yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, maupun membentuk unit usaha syariah yang tersendiri yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah didalam kantor bank yang bersangkutan. Sebagai implikasi penerapan dual banking sytem tersebut, perbankan syariah tidak berdiri sendiri, sehingga dalam operasionalisasinya masih menginduk kepada bank bank konvensional. Apabila demikian adanya perbankan syariah hanya menjadi salah satu bagian dari program pengembangan bank konvensional. Untuk mencapai tujuan yang diinginkan oleh perbankan syariah, maka dibutuhkan kemandirian perbankan syariah dengan pengaturan secara sendiri perbankan syariah.

Sejalan dengan perkembangan pesat industry perbankan syariah dibawah UU nomor 10 tahun 1998 yang dimungkinkan pula adanya berbagai penafsiran dalam penyusunan akad produk dan jasa perbankan syariah yang dapat menimbulkan iklim usaha yang kurang kondusif bagi bank syariah dan ketidakpastian bagi pihak terkait dan stekeholders. Oleh kerena itu diperlukan pengaturan mengenai akad penghimpunan dan penyaluran dana bank syariah. Hal ini dilakukan dalam rangka memelihara kepercayaan masyarakat terhadap bank syariah, baik dari aspek finansial maupun kesesuaian terhadap prinsip syariah yang menjadi dasar operasinya. Dengan adanya ketentuan mengenai akad penghimpunan dan penyaluran dana bank syariah diharapkan akan memberikan manfaat kepada semua pihak yang berkepentingan yang pada gilirannya akan mewujudkan pengelolaan bank syariah yang sehat. Selain itu, kejelasan akad akan membantu operasional bank, sehingga menjadi lebih efesien dan meningkatkan kepastian hokum para pihak termasuk bagi pengawas dan auditor bank syariah.

Berdasarkan pertimbangan tersebut dan sesuai dengan kewenangannya sebagai otoritas perbankan, maka BI menetapkan peraturan bank Indonesia nomor 7/46/PBI/2005 tentang akad penghimpunan dan penyaluran dana bagi bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah. Ketentuan persyaratan minimum akad penghimpunan dan penyaluran dana bagi bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah sebagaimana termuat dalam peraturan bank Indonesia nomor 7/46/PBI/2005 disusun berpedoman kepada fatwa yang diterbitkan oleh DSN dengan memberikan penjelasan lebih rinci aspek teknis perbankan guna menyediakan landasan hokum yang cukup memadai bagi para pihak yang berkepentingan.

Ketentuan persyaratan minimum akad penghimpunan dan penyaluran dana bank syariah tersebut mengikuti proses yang berkesinambungan dengan memperhatikan perubahan dan perkembangan kondisi regulasi dan system perundangan yang berlaku.

  1. Dasar hokum regulasi perbankan syariah
Perbankan yang ada di awal-awal kemerdekaan sampai dengan adanya deregulasi perbankan pada tahun 1998 merupakan bank yang secara keseluruhan mendasarkan pengelolaannya pada prinsip bunga (interest). Seiring dengan banyaknya tuntutan masyarakat yang menghendaki suatu lembaga keuangan yang bebas dari bunga(riba), maka dibutuhkan rangkaian upaya secara yuridis dan kelembagaan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat tersebut. Secara hokum telah terakomodasi dalam UU nomor 7 tahun 1992 yang secara implisit telah membuka peluang kegiatan usaha perbankan yang memiliki dasar operasional bagi hasil.

Berdasarkan UU nomor 7 tahun 1992 tentang perbankan, peraturan pelaksanaan mengenai bank berdasarkan prinsip bagi hasil atau bank berdasarkan prinsip syariah atau perbankan syariah diatur atau ditetapkan lebih lanjut dalam peraturan pemerintah. Dalam pasal 6 huruf m dan pasal 13 huruf c UU nomor 7 tahun 1992 menegaskan, bahwa bank umum dan bank perkreditan rakyat dapat menjalankan kegiatab usaha dengan menyediakan pembiayaan bagi nasabah berdasarkan prinsip bagi hasil sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam peraturan pemerintah. Ketentuan ini menjadi landasan hokum bagi pendirian bank berdasarkan prinsip bagi hasil. pengaturan mengenai bank berdasarkan prinsip bagi hasil dimaksud lebih lanjut dituangkan dalam peraturan perundangan nomor 72 tahun 1992 tentang bank berdasarkan prinsip bagi hasil.

Namun seiring dengan lahirnya UU nomor 10 tahun 1998, ketentuan yang termuat dalam peraturan pemerintah nomor 72 tahun 1992 dicabut dengan peraturan pemerintah nomor 30 tahun 1999 tentang pencabutan peraturan pemerintah nomor 70 tahun 1992 tentang bank umum sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan peraturan pemerintah nomor 73 tahun 1998, peraturan pemerintah nomor 71 tahun 1992 tentang bank perkreditan rakyat dan peraturan pemerintah nomor 72 tahun 1992 tetang bank berdasarkan prinsip bagi hasil. hal ini sesuai dengan amanat UU nomor 10 tahun 1998 yang menyatakan bahwa ketentuan pelaksanaan mengenai bank berdasarkan prinsip syariah ditetapkan oleh BI.

Dalam UU nomor 10 tahun 1998, eksistensi bank berdasarkan prinsip syariah atau perbankan syariah dinyatakan dalam salah satu kegiatan usaha perbankan, yang dapat dijalankan oleh bank umum dan bank perkreditan rakyat, kendati pun dengan perumusan yang berbeda. Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, berkaitan dengan kegiatan usaha bank umum, ketentuan dalam pasal 6 huruf m UU nomor 10 tahun 1998 menetapkan, bahwa :

Bank umum  menyediakan pembiayaan dan/atau melakukan kegiatan lain berdasarkan prinsip syariah, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh bank Indonesia.

      Demikian pula berkaitan dengan kegiatan usaha bank perkreditan rakyat, ketentuan dalam pasal 13 huruf c UU nomor 10 tahun 1998 menetapkan, bahwa :

Bank perkreditan rakyat menyediakan pembiayaan dan penempatan dana berdasarkan prinsip syariah, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh bank Indonesia.

      Selain itu, eksistensi bank berdasarkan prinsip syariah atau perbankan syariah dinyatakan pula dalam ketentuan pasal 1 angka 3 UU nomor 10 tahun 1998 yang menetapkan, bahwa :

Bank umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan/atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.

      Kemudian dalam ketentuan pasal 1 angka 4 UU nomor 10 tahun 1998 yang menetapkan, bahwa :

Bank perkreditan rakyat adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan/atau berdasarkan berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.

       Dengan demikian, ketentuan dalam pasal-pasal UU nomor 7 tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan UU nomor 10 tahun 1998 merupakan dasar hokum pengaturan dan eksistensi penyelenggaraan kegiatan usaha perbankan yang operasionalisasinya berdasarkan system/prinsip syariah, yang secara rinci ketentuannya akan diatur lebih lanjut oleh BI sebagai otoritas perbankan(syariah). Hal ini dengan amandemen UU nomor 7 tahun 1992 melalui UU nomor 10 tahun 1998 yang antara lain isinya memberikan kewenangan penuh pengaturan perbankan kepada bank Indonesia (sebelumnya kewenangan berada pada menteri keuangan) dan bank Indonesia berdasarkan UU nomor 10 tahun 1998 dan UU nomor 23 tahun 1999 tentang bank Indonesia, berwenang untuk menerbitkan peraturan pelaksanaan dari kedua UU, maka sejak tahun 1999 peraturan pelaksanaan yang mengatur perbankan yang semula berupa peraturan pemerintah diganti dengan peraturan bank Indonesia (PBI), yang sebelumnya disebut surat keputusan direksi bank Indonesia (SKBI).


BAB III
KESIMPULAN

Dengan diberlakukannya Undang – Undang nomor 10 tahun 1998, maka legalitas hokum bank, baik dari aspek kelembagaan dan kegiatan usaha bank syariah telah diakomodir dengan jelas dan menjadi landasan yuridiris yang kuat bagi perbankan dan para pihak yang berkepentingan. Undang – Undang  nomor 10 tahun 1998 tersebut telah memberikan peluang yang semakin besar bagi berkembangnya bank – bank syariah.


Kamis, 16 Mei 2013

Manajemen Keuangan Syariah


A.  PENGERTIAN MANAJEMEN KEUANGAN SYARIAH
Asal mula kata Manajemen berasal dari bahasa Perancis Kuno dari kata menagement, yang memiliki arti seni melaksanakan dan mengatur. Pengertian secara bebas Manajemen berarti sebagai sebuah proses perencanaan, pengorganisasian, pengkoordinasian, dan pengontrolan sumber daya untuk mencapai sasaran (goals) secara efektif dan efesien. Manajemen Keuangan Syariah adalah sebuah kegiatan manajerial keuangan untuk mencapai tujuan dengan memperhatikan kesesuaiannya pada prinsip-prinsip syariah.Prinsip syariah pada aspek keuangan meliputi :

1 Setiap perbuatan akan dimintakan pertanggungjawabannya.

“Dan sekali-kali bukanlah harta dan bukan (pula) anak-anak kamu yang mendekatkan kamu kepadaKami sedikitpun; tetapi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal (saleh, mereka itulah yang memperoleh balasan yang berlipat ganda disebabkan apa yang telah mereka kerjakan;dan mereka aman sentosa di tempat-tempat yang tinggi (dalam syurga)”. (QS. As Sabaa’ 34; 31)


2. Setiap harta yang diperoleh terdapat hak orang lain.

“Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian” (QS. Adz-Dzariyaat 51; 19).
”Hai orang-orang yang beriman, belanjakanlah (di jalan Allah) sebagian dari rezki yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang hari yang pada hari itu tidak ada lagi jual beli dan tidak ada lagisyafa'at. Dan orang-orang kafir itulah
orang-orang yang zalim”. (QS.Al Baqarah 2; 254)
“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah[166] adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui”. (QS.Al Baqarah 2; 261).

3.    Uang sebagai alat tukar bukan sebagai komoditi yang diperdagangkan.

“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahalAllah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampaikepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apayang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah.Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; merekakekal di dalamnya”. (QS.Al Baqarah 2; 275)
“Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, makariba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamumaksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yangmelipat gandakan (pahalanya)”.(Qs. Ar Ruum 30; 39)

Berdasarkan prinsip tersebut diatas maka dalam perencanaan, pengorganisasian, penerapan dan pengawasan yang berhubungan dengan keuangan secara syariah adalah :
-       Setiap upaya-upaya dalam memperoleh harta semestinya memperhatikan cara-cara yang sesuaidengan syariah seperti perniagaan/jual beli, pertanian, industri, jasa-jasa.
-       Obyek yang diusahakan bukan sesuatu yang diharamkan.
-       Harta yang diperoleh digunakan untuk hal-hal yang tidak dilarang/mubah seperti membeli barang konsumtif, rekreasi dan sebagainya. Digunakan untuk hal-hal yang dianjurkan/sunnah seperti infaq,waqaf, shadaqah. Digunakan untuk hal-hal yang diwajibkan seperti zakat.
-       Dalam hal ingin menginvestasikan uang juga harus memperhatikan prinsip “uang sebagai alat tukar bukan sebagai komoditi yang diperdagangkan”, dapat dilakukan secara langsung atau melalui lembaga intermediasi seperti bank syariah dan reksadana syariah.

B. Kritik Praktek Ekonomi Islam
Beberapa pakar ekonomi Islam seperti Dr. Muhammad Nejatullah Siddiqi dan Dr. Mohammad Obaidullah serta pemikir keuangan syariah seperti Pr.Dr. Volker Nienhaus melontarkan kritik terhadap praktek ekonomi Islam saat ini, khususnya di sektor keuangan Islam yang dilakukan oleh mayoritas negara muslim. Kritikan Siddiqi seperti yang tercuplik dalam artikelnya Muhammad Fahim Khan (Islamic Science of Economics: to be or not to be); “Most of us have been busy competing with conventional economics on its own terms, demonstrating how Islam favors creation of more wealth, etc. We have had enough of that. It is time to demonstrate how modern man can live a peaceful, satisfying life by shifting to the Islamic paradigm that values human relations above material possessions”
Sementara itu Dr. Mohammad Obaidullah mengungkapkan bahwa salah satu kelemahan industri keuangan terletak pada mekanisme fatwa dalam menjustifikasi transaksi-transaksi keuangan. Obaidullah berargumentasi bahwa ruang lingkup interpretasi yang sangat luas dan beragam, dimana hal tersebut menyediakan ruang pula pada interpretasi yang kontradiktif, membuat fatwa dimungkinkan menjadi sekedar alat dalam membenarkan praktek konvensional masuk ke sendi-sendi sistem keuangan Islam. Fatwa saat ini cenderung hanya menggunakan sudut pandang hukum saja. Hal ini membuat mekanisme fatwa menjadi overlook pada esensi-esensi transaksi keuangan Islam.
Oleh sebab itu beberapa kalangan menganjurkan agar mekanisme penyusunan fatwa mengikutsertakan pandangan ekonomi yang mampu menyuguhkan pertimbangan esensi transaksi berikut implikasi perekonomiannya. Dengan begitu fatwa menjadi lebih lengkap memandang dan me-review sebuah transaksi, sehingga mampu memelihara dan menjaga karakteristik keuangan syariah agar selalu in-line dengan semangat ekonomi Islam-nya. Esensi keuangan Islam terletak pada dukungannya terhadap aktifitas ekonomi produktif, dimana aktifitas sektor riil menjadi muara semua transaksi keuangan Islam.
Sedangkan Prof.Dr. Volker Nienhaus berpendapat bahwa dalam praktek keuangan syariah banyak ditemui structure products yang diyakini telah sesuai dengan prinsip-prinsip syariah, dimana produk-produk tersebut pada dasarnya tidak dapat diterima secara umum, namun beberapa Sharia Board dan Sharia Scholar mengakui kesyariahan produk tersebut, seperti produk Tawarruq and Comodity Murabaha, Collateralized Debt Obligations, Short Selling, Profit Rate Swaps dan Total Return Swaps. Dan ketika produk-produk tersebut diterapkan ternyata akan mengakibatkan terjadinya unrestricted liquidity (Tawarruq and Comodity Murabahah), speculation (Collateralized Debt Obligations dan Short Selling) dan sharia conversion (Profit Rate Swaps dan Total Return Swaps). Konsekwensi dari penerapan produk-produk seperti itu, ekonomi tidak mengalami peningkatan wealth dan juga dapat mengakibatkan systemic anomalies dan systemic vulnerability.
Implikasi selanjutnya adalah pada tahap awal akan terjadi Systemic Commingling, dimana Islamic Finance berinteraksi dengan konvensional, yang diikuti dengan Islamic Finance melakukan emulation (peniruan) terhadap produk-produk konvensional. Pada tahap selanjutnya akan terjadi Systemic Inclusion, dimana Islamic Finance berintegrasi dengan Conventional Finance, sehingga terjadi absorption Islamic Finance dalam operasi Conventional Finance, yang pada akhirnya sulit untuk membedakan antara produk Islamic Finance dan produk Conventional Finance. Hal ini terjadi karena beberapa hal, diantaranya: (i) adanya kompetisi dari bank-bank konvensional; (ii) adanya demand akan emulated products (karena masyarakat yang belum well educated pada Islamic Economic/Finance); (iii) lebih tingginya profit dari structure products; (iv) sharia scholar yang mengutamakan legalistic approach dari pada substansi ekonomi Islam dan unfavourable regulatory environment (sesuai kritik Obaidullah). Sehingga agar Islamic Finance tetap sejalan dengan cita-cita penerapan keuangan syariah, maka pada masa yang akan datang perlu diupayakan cara-cara mempertahankan distinction dari Islamic Finance meski dalam prakteknya di lapangan ia akan berdampingan (Systemic Coexistence) dengan Conventional Finance.
Kritikan-kritikan seperti ini, sedikit banyak mempengaruhi kepercayaan para pakar akan keberhasilan sistem ekonomi Islam dalam menjawab tantangan kerapuhan sistem ekonomi yang sedang berlangsung. Bahkan kritikan ini mulai memunculkan keraguan terhadap keefektifan ekonomi/keuangan Islam sebagai sistem ekonomi alternatif yang mampu menggantikan sistem ekonomi mainstream. Operasionalnya yang tidak berbeda, struktur produk yang sama, esensi transaksi yang identik, bahkan tidak ada perbedaan mencolok dari prilaku pelaku ekonomi membuat banyak pihak mulai bertanya-tanya, mampukah ekonomi/keuangan Islam bertahan lama. Karena pada akhirnya dengan kecenderungan yang ada saat ini ekonomi/keuangan Islam akan blended (melebur) dalam sistem ekonomi mainstream juga.

C. Keuangan Syariah Indonesia
Ditengah kritikan seperti itu, Indonesia secara perlahan mulai dikenal luas oleh dunia, memiliki aplikasi ekonomi/keuangan syariah yang berbeda dengan negara-negara kebanyakan. Indonesia yang dalam forum internasional keuangan syraiah dikenal “ortodok” (mengambil istilah Dr. Zeti Akhtar Azis, Gubernur BNM – bank sentralnya Malaysia) atau konservatif dalam penerapan prinsip-prinsip syariah, kini dikenali memiliki praktek ekonomi Islam yang lebih mendekati substansi ekonomi Islam (jika sulit juga diklaim lebih syariah) serta relatif komplit pada semua aspek ekonomi. Perkembangan ekonomi syariah bukan hanya di sektor yang memang telah banyak dikembangkan seperti perbankan, pasar modal dan lembaga keuangan non-bank lainnya, tetapi perkembangannya merambah pada sektor keuangan mikro, keuangan sosial dan praktek-praktek usaha riil yang mencoba memenuhi prinsip-prinsip syariah.
Disamping itu, sensitifitas berbagai kalangan terhadap praktek syariah membuat aplikasinya oleh pelaku ekonomi termasuk regulatornya, sangat berhati-hati dengan terus mengedepankan substansi prinsip-prinsip syariah yang telah digariskan. Esensi keuangan syariah yang mensyaratkan keterkaitan erat transaksi keuangan dengan usaha produktif ekonomi (riil) membuat produk-produk keuangan syariah Indonesia relatif memiliki bentuk, warna dan karakteristik yang berbeda dengan negara-negara lain.
Sebagai contoh di sektor perbankan, jika membandingkan perbankan syariah Indonesia dengan Malaysia, maka terlihat bagaimana karakteristik perbankan yang berbeda yang dimiliki Indonesia dan Malaysia. Dari struktur produk, produk perbankan syariah Malaysia dominan dikuasai oleh produk fixed income yang mekanisme akadnya mirip konvensional. Produk pembiayaan dominan yang dulu dikuasai oleh akad bay’ al innah kini berganti nama dengan commodity murabaha (99%!), yang esensi mekanismenya sama saja.
Commodity murabaha identik dengan akad kredit konvensional mengingat esensi transaksi produktif (ekonomi riil) tidak ada dalam transaksi tersebut. Uniknya atau mungkin ironisnya, dalam satu kesempatan seorang direktur salah satu bank syariah Malaysia pernah menyebutkan bahwa produk pembiayaan bank syariah berbasis bagi-hasil tidaklah cocok dengan bisnis bank (syariah), sehingga direktur ini bersikeras bahwa produk berbasis jual-beli menjadi pilihan utama. Argumentasi ini semakin beralasan mengingat produk berbasis jual-beli memang lebih fleksibel direkayasa untuk menjadi mirip dengan produk konvensional.
Sementara di Indonesia perbankan syariahnya memiliki produk pembiayaan yang relatif lebih bervariatif. Meskipun produk berbasis jual-beli (murabahah, ijarah dan istishna) masih dominan (65%) tetapi mekanisme produk ‘fixed income” itu betul-betul berbasiskan underlying asset riil. Yang menggembirakan adalah share produk pembiayaan berbasis bagi-hasil (35%) terus membesar dibandingkan produk berbasis jual-beli. Walaupun ada kritik produk berbasis bagi-hasil masih banyak dilakukan bukan dengan end-user seperti koperasi-koperasi serba usaha atau dengan mekanisme yang belum sepenuhnya “profit sharing”, namun esensi transaksi berbasis aktifitas usaha produktif telah disiplin dilakukan.
Pada sektor pasar modal dan non-bank, produk keuangan syariah yang beredar di pasar global dan di pasar domestik negara-negara lain, cenderung mengembangkan produk-produk yang mekanismenya identik pula dengan konvensional. Contohnya produk sukuk yang menggunakan akad ijarah (asset based) atau malaysia menggunakan akad bay al dayn, dimana esensinya sama dengan obligasi konvensional. Atau surat-surat berharga syariah lainnya yang menggunakan akad commodity murabaha. Belum lagi pengembangan yang sampai pada transaksi di pasar derivatif yang diklaim sudah sesuai syariah, meski mudah menyimpulkan bahwa esensi instrumen-instrumen itu sama dengan konvensional.
Alat ukur sederhananya mudah sekali, jika transaksi instrumen keuangan syariah itu tidak memiliki underlying asset riil, maka instrumen itu tidak sesuai syariah. Namun seringkali dalih dari mereka yang membenarkan instrumen mimicry itu adalah bahwa sepanjang ada barang yang ditransaksikan (umumnya dijual-belikan) maka sah secara syariah, padahal barang tersebut hanya jadi alat justifikasi syariah, bukan menjadi objek atau substansi utama yang ditransaksikan. Contohnya, ada jual-beli barang di commodity murabaha tapi bukan itu esensi transaksi, melainkan transaksi kreditnya (uang). Oleh sebab itu, kini Indonesia mulai juga mengembangkan sukuk berbasis projek investasi (project based), seperti projek-projek infrastruktur yang saat ini gencar dibangun oleh pemerintah. Meski pada periode awal indonesia juga menerapkan instrumen-instrumen keuangan syariah seperti kebanyakan negara lain.
Komposisi dan mekanisme transaksi dari produk-produk keuangan syariah yang dimiliki Indonesia ini sebuah fakta yang tidak dimiliki negara-negara lain yang juga mengembangkan industri perbankan dan keuangan syariah. Tidak heran, karena mayoritas negara di dunia mengembangkan industri keuangan syariahnya dengan pendekatan peniruan (mimicry) dengan konvensional, maka banyak pakar yang meragukan orisinalitas sistem ekonomi/keuangan Islam, baik pakar konvensional maupun pakar syariah. namun pada beberapa kesempatan, baik seminar, konferensi dan forum kelompok kerja, banyak negara yang kini menyadari bahwa Indonesia memiliki bentuk industri syariah yang berbeda, aplikasi ekonomi syariah yang memiliki warna lain.

D. Lembaga Keuangan Mikro Syariah Indonesia
Yang membuat Indonesia berbeda (kata “berbeda” mungkin cukup memadai jika kata “membanggakan” dianggap terlalu berlebihan) dalam aplikasi dan pengembangan ekonomi Islam bukan hanya sebatas di sektor keuangan atau perbankan syariah, tetapi juga ternyata berkembang pula pada sisi-sisi ekonomi yang lain, seperti berkembangnya lembaga-lembaga keuangan mikro syariah, lembaga keuangan sosial dan usaha-usaha sektor riil yang bersemangat untuk comply dengan prinsip-prinsip syariah.
Berkembangnya lembaga keuangan mikro syariah semisal Baitul Mal wa Tamwil (BMT) atau Koperasi Jasa Keuangan Syariah (KJKS), baik di perkotaan maupun daerah pedesaan, seolah menggenapi semangat aplikasi keuangan syariah di tanah air. Dengan jumlah yang diperkirakan lebih dari 3000 unit, BMT/KJKS telah menjadi ikon tersendiri dalam dunia keuangan syariah Indonesia. Struktur usaha di perekonomian nasional yang 99% didominasi oleh UMKM, maka kehadiran BMT/KJKS menjadi sangat penting dalam melayani kebutuhan jasa keuangan syariah masyarakat ekonomi di segmen bawah. Dengan besarnya jumlah pelaku UMKM dan BMT/KJKS, Indonesia layak disebut negara terdepan dalam aplikasi Islamic Microfinance.
Saat ini Indonesia bahkan dapat dikatakan sebagai laboratorium terbesar dalam aplikasi microfinance. Bukan hanya keuangan mikro syariah tetapi juga keuangan mikro konvensional. Variasi bentuk lembaga keuangan mikro dari koperasi, BMT, badan kredit desa (BKD) dan lain-lain, menempatkan Indonesia sebagai negara percontohan untuk aplikasi keuangan mikro. Khusus untuk keuangan mikro syariah, perlahan-lahan aplikasi keuangan mikro syariah itu menjadi branding indonesia. Dalam beberapa forum, workshop, conference atau field visit (yang dilakukan delegasi negara lain ke Indonesia), materi keuangan mikro syariah sudah menjadi “menu” tetap yang diminta dari Indonesia.
Berbeda dengan negara-negara lain, aplikasi keuangan mikro di Indonesia bukanlah didominasi oleh program atau projek pemberdayaan masyarakat kecil dari pemerintah yang dijalankan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Tetapi itu dilakukan oleh lembaga-lembaga keuangan yang bersifat mandiri, beroperasi dalam komunitas terbatas dan dilakukan oleh masyarakat tempatan (lokal). Modal umumnya diupayakan dari kongsi kelompok masyarakat tertentu, baik komunitas masjid, tetangga, pesantren, profesi dan lain-lain. Meski begitu pada beberapa kasus telah ada lembaga keuangan mikro syariah yang sangat besar, dimana kantor cabangnya telah ada di beberapa provinsi. Beberapa peneliti internasional bahkan secara spesifik telah mengangkat sektor keuangan mikro syariah Indonesia ini untuk menjadi objek penelitian, bahkan beberapa literatur dunia telah merekomendasikannya untuk di replikasi oleh negara-negara lain.

E. Lembaga Keuangan Sosial Syariah Indonesia
Pada ranah yang berbeda di Indonesia berkembang pula lembaga-lembaga keuangan sosial Islam yang menyasar masyarakat paling bawah, rakyat miskin (poorest of the poor). Pelayanan keuangan syariah bagi rakyat miskin berbentuk penyediaan kebutuhan pokok dan pemberdayaan ekonomi menggunakan dana-dana sosial Islam seperti Zakat, Infak, sedekah dan wakaf. Uniknya lembaga keuangan sosial syariah ini tidak tersentralisasi dibawah lembaga pemerintah tetapi mandiri diinisiasi oleh komunitas-komunitas tertentu yang juga berlatar belakang variatif layaknya lembaga keuangan mikro syariah. ada Dompet Dhuafa (DD) yang diinisiasi oleh Harian Republika, Pos Keadilan Peduli Ummat (PKPU) yang berdiri atas respon kepedulian konflik di Maluku, Aksi Cepat Tanggap (ACT) yang berdiri sebagai respon dari banyaknya bencana alam, Rumah Zakat (RZ) yang muncul dari komunitas pengajian, dan banyak lagi lembaga lain pada tingkat nasional maupun lokal. Saat ini diperkirakan jumlah lembaga keuangan sosial syariah (swasta) ini diperkirakan mencapai 400-500 lembaga.
Banyaknya lembaga keuangan sosial syariah ini, meski banyak kritik yang dialamatkan padanya, namun harus diakui peran dan kontribusinya dalam melayani rakyat miskin yang selama ini luput dari perhatian pemerintah. Keberadaan mereka memacu program-program inovatif-kreatif dalam melayani rakyat miskin, memunculkan dan meningkatkan kesadaran masyarakat lain yang terbilang mampu kepada saudara mereka yang miskin, meningkatkan profesionalitas dan manajemen pemberdayaan masyarakat tak mampu, atau sekedar memperbanyak outlet bagi rakyat miskin dalam memperoleh kebutuhan-kebutuhan dasarnya, bukan hanya bersandar pada program pemerintah tetapi juga lembaga-lembaga sosial dari masyarakat sendiri (swasta).

F. Praktek Usaha Riil Indonesia
Sementara itu, di sektor usaha ekonomi itu sendiri, pada semua skala usaha (mikro-kecil-menengah-besar) sudah pula muncul kesadaran untuk menyesuaikan praktek usahanya dengan prinsip-prinsip syariah. seperti praktek bisnis perhotelan yang mengklaim tidak menjajakan minuman keras, bisnis salon yang khusus bagi muslimah, bengkel yang transaksi dan pelayanan mengedepankan akhlak-hukum syariah, produk pertanian yang ramah lingkungan dan tidak merugikan konsumen akibat pestisida atau zat racun lainnya (organik), rumah makan yang bernuansa syariah, real estate yang menawarkan konsep Islami dan obat-obatan yang merujuk pada tradisi pengobatan Islam. Atau sekedar unit-unit usaha yang mulai tidak mau mendapatkan bantuan modal dari lembaga-lembaga keuangan non-syariah.
Gelombang aplikasi muamalah ini memang mencerminkan kesadaran masyarakat Indonesia yang mulai menyeluruh, pengetahuan Islam yang semakin baik berbuah pada tuntutan penyediaan pelayanan-pelayanan muamalah sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Tidak mengherankan memang, karena sebagai indikasi awal adalah boomingnya permintaan buku-buku Islam oleh masyarakat yang hingga saat ini sudah bertahan lebih dari 15 tahun.