BAB I
PENDAHULUAN
Pengembangan
perbankan yang didasarkan kepada konsep dan prinsip ekonomi Islam merupakan
suatu inovasi dalam sistem perbankan internasional. Meskipun telah lama menjadi
wacana pada kalangan publik dan para ilmuan muslim maupun nonmuslim, namun
pendirian institusi bank Islam secara komersial dan formal belum lama terwujud.
Salah satu bank terbesar di negara-negara arab, misalnya Bank Islam Faisal di
Sudan dan Mesir, pertama berdiri pada tahun 1977 (Naser dan Moutinho, 1977).
Sementara di kawasan Asia Tenggara, Bank Islam Malaysia Berhad telah didirikan
pada tahun 1983 (Haron et. Al., 1994). Di Indonesia, bank Islam pertama adalah
Bank Muamalat Indonesia (BMI) yang telah berdiri pada tahun 1992. Dalam kaitan
ini, terdapat dua hal yang mendorong eksistensi dan perkembangan perbankan
Islam – yang selanjutnya di sini disebut dengan bank syariah – adalah munculnya
keinginan dan kebutuhan masyarakat serta keunggulan dan kelebihan yang dimiliki
bank syariah.
Menurut
ketentuan yang tercantum di dalam Peraturan Bank Indonesia nomor 2/8/PBI/2000,
pasal I, Bank Syariah adalah “bank umum sebagaimana yang dimaksud dalam
undang-undang nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan dan telah diubah dengan
undang-undang nomor 10 tahun 1998 yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan
prinsip syari’ah, termasuk unit usaha syariah dan kantor cabang
bank asing yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syari’ah”.
Perbankan syariah atau Perbankan Islam adalah suatu sistem perbankan yang
dikembangkan berdasarkan syariah (hukum) islam.
BAB II
PEMBAHASAN
BANK SYARIAH
DALAM SISTEM PERBANKAN NASIONAL
- Kebijakan pengembangan
perbankan syari’ah di Indonesia
Perkembangan bank syariah di
Indonesia dewasa ini berjalan dengan sangat pesat. Walaupun jumlah bank, jumlah
kantor bank dan jumlah total asset bank syariah masih sangat kecil apabila
dibandingkan dengan bank konvensional. Kita telah membuktikan bahwa
perkembangan perbankan syariah yang baru terjadi setelah diberlakukannya Undang
– Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang – Undang Nomor 7 Tahun
1992 tentang Perbankan.
Dengan berlakunya Undang – Undang
Nomor 10 Tahun 1998 tersebut telah memberikan dasar hukum yang lebih kokoh dan
peluang yang lebih besar dalam pengembangan bank syariah di Indonesia. Undang –
Undang Nomor 10 Tahun 1998 tersebut diharapkan dapat mendorong pengembangan
jaringan kantor bank syariah yang dapat lebih menjangkau masyarakat yang
membutuhkan diseluruh Indonesia. Dengan diberlakukannya Undang – Undangg
tersebut, maka legalitas hukum bank dari aspek kelembagaan dan kegiatan usaha
bank syariah telah diakomodir dengan jelas dan menjadi landasan yuridis yang
kuat bagi perbankan dan para pihak yang berkepentingan.
Undang – Undang tersebut telah
memberikan peluang yang semakin besar bagi berkembangnya bank – bank syariah. Sebagai
bahan arahan kebijakan pengembangan bank syariah sebagai bagian dari kebijakan
pemantapan ketahanan sitem perbankan nasional pada akhir tahun 2002, bank
Indonesia membuat “ blue print perbankan syariah”. Arah kebujakan blue print
tersebut, sejalan pula dengan arsitektur perbankan syariah Indonesia yang
mencakup arah pengembangan system perbankan nasional yang menjadi landasan bagi
bak Indonesia, lembaga perbankan syariah lainnya dalam mengembangkan perbankan
syariah sepuluh tahun kedepan.
Dengan berdasarkan kepada blue print
pengembangan perbankan syariah tersebut, pengembangan perbankan syariah
dilakukan secara lebih terarah. Dalam blue print itu berisikan pula kebijakan
dan inisiatif – inisiatif strategis dan terencana dengan tahapan yang jelas
untuk mencapai sasaran pengembangan jangka panjang industry perbankan syariah
dari tahun 2002 – 2011. Adapun target pencapaian pengembangan system perbankan syariah
nasional adalah memiliki daya saing yang tinggi dengan tetap berpegangan pada
nilai – nilai syariah, memiliki peran signifikan dalam system perekonomian
nasional serta perbaikan kesejahteraan rakyat dan memiliki kemampuan untuk
bersaing secara global dengan pemenuhan standar operasional keuangan
internasional.
Dalam blue print pengembangan
perbankan syariah tersebut, selain mengidentifikasi tantangan utama yang akan
dihadapi oleh industry perbankan syariah pada tahun – tahun mendatang, juga
menjelaskan visi, misi dan sasaran pengembangan perbankan syariah. Disamping
itu dalam blue print itu juga ditetapkan sekumpulan inisiatif strategis dengan
prioritas yang jelas untuk menjawab semua tantangan utama dan mencapai sasaran
pengembangan perbankan syariah pada sepuluh tahun mendatang.
Berdasarkan nilai – nilai syariah,
maka visi pengembangan perbankan syariah di Indonesia berdasarkan blu print
pengembangan perbankan syariah tersebut, yaitu terwujudnya system perbankan syariah yang kompetitif, efisien, dan
memenuhi prinsip kehati – hatian yang mampu mendukung sector riil secara nyata
melakukan kegiatan pembiayaan berbasis bagi hasil (share based financing) dan
transaksi riil dalam kerangka keadilan, tolong – menolong dan menuju kebaikan
guna mencapai kemaslahatan masyarakat.
Selanjutnya dalam blue print
pengembangan perbankan syariah Indonesia tersebut, juga dirumuskan sasaran
pengembangan perbankan syariah di Indonesia dalam rangka mewujudkan visi yang
sudah ditetapkan tersebut. Dikatakan bahwa sasaran pengembangan perbankan
syariah di indonesia dibuat dengan mempertimbangkan kondisi actual, termasuk
faktor – faktor yang berpengaruh dan kecenderungan yang akan membentuk industri di masa yang
akan datang, manfaat dan tantangan yang ada, serta kelebihan dan keterbatasan
dari pelaku industry dan stakeholder lainnya. Adapaun sasaran pengembangan
perbankan syariah sampai dengan tahun 2011 sebagai berikut :
- Terpenuhinya prinsip syariah
dalam operasional perbankan
- Diterapkannya prinsip kehati –
hatian dalam operasional perbankan syariah
- Terciptanya system perbankan
syariah yang kompetitif dan efisien
- Terciptanya stabilitas sistemik serta terealisasinya kemanfaatan bagi masyarakat luas
Kemudian sebagai langkah konkret
upaya pengembangan perbankan syariah di Indonesia, bank Indonesia telah
merumuskan sebuah grand strategi pengembangan pasar perbankan syariah, sebagai
strategi komprehensif pengembangan pasar yang meliputi aspek –aspek strategis
yaitu penetapan visi 2010 sebagai industry perbankan syariah terkemuka di
ASEAN, pembentukan citra baru perbankan syariah nasional yang bersifat inklusif
dab universal, pemetaan pasar secara lebih akurat, pengembangan produk yang
lebih beragam, peningkatan layanan, serta strategi komunikasi baru yang
memposisikan perrbankan syariah lebih dari sekedar bank. Selanjutanya berbagai
program konkret telah dan akan dilakukan sebagai tahap implementasi dari grand
strategy pengembangan pasar keuangan perbankan syariah, antara lain sebagai
berikut :
- Menerapkan visi baru
pengembangan perbankan syariah pada fase I tahun 2008 membangun pemahaman
perbankan syariah sebagai beyond banking, dengan pencapaian target asset
sebesar Rp 50 triliun dan pertumbuhan industry sebesar 40%, fase II tahun
2009 menjadikan perbankan syariah Indonesia sebagai perbankan syariah
paling atratif di ASEAN, dengan pencapaian target asset sebesar Rp 87
triliun dan pertumbuhan industry sebesar 75%. Fase III tahun 2010
menjadikan perbankan syariah Indonesia sebagai perbankan syariah terkemuka
di ASEAN, dengan pencapaian target asset sebesar Rp 124 triliun dan
pertumbuhan industry sebesar 81%.
- Program pencitraan baru
perbankan syariah yang meliputi aspek positioning, differentiation dan
branding. Positioning baru bank syariah sebagai perbankan yang saling
menguntungkan kedua belah pihak , aspek diferensiasi dengan keunggulan
kompetitif dengan produk dan skema yang beragam, transparan, kompeten
dalam keuangan dan beretika, teknologi informasi yang selalu update dan
user friendly, serta adanya ahli investasi keuangan syariah yang memadai.
Sedangkan pada aspek branding adalah “ bank syariah lebih dari sekedar
bank atau beyond banking”.
- Program pemetaan baru secara
lebih akurat terhadap potensi pasar perbankan syariah yang secara umum
mengarahkan pelayanan jasa bank syariah sebagai layanan universal attau
bank bagi semua lapisan masyarakat dan semua segmen sesuai dengan strategi
masing-masing bank syariah.
- Program pengembangan produk
yang diarahkan kepada variasi produk yang beragam yang didukung oleh
keunikan value yang ditawarkan (saling menguntungkan) dan dukungan
jaringan kantor yang luas dan penggunaan standar nama produk yang mudah
dipahami.
- Program peningkatan kualitas
layanan yang didukung oleh SDM yang kompeten dan penyediaan teknologi
informasi yang mampu memenuhi kebutuhan dan kepuasan nasabah serta mampu
mengkomunikasikan produk dan jasa bank syariah kepada nasabah secara benar
dan jelas dengan tetap memenuhi prinsip syariah.
- Program sosialisasi dan edukasi masyarakat secara lebih luas dan efesien melalui berbagai sarana komunikasi langsung maupun tidak langsung yang bertujuan untuk memberikan pemahaman tentang kemanfaatan produk serta jasa perbankan syariah yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat.
Selanjutnya pengembangan perbankan
syariah di Indonesia harus tetap dilakukan dalam koridor kehati-hatian dan
pemenuhan prinsip syariah. Dalam hal infrastruktur untuk pemenuhan prinsip
syariah , MUI telah membentuk DSN sebagai satu-satunya pihak/lembaga yang bisa
mengeluarkan fatwa terkait instrument keuangan syariah di Indonesia dan juga
menetapkan DPS di bank dalam rangka meyakini operasional, produk dan jasa bank
yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah telah memenuhi
prinsip syariah.
- Sejarah perkembangan regulasi
perbankan syariah di Indonesia
Berbagai perubahan politik di
Indonesia dalam pertengahan kedua tahun 1950, juga membawa perubahan terhadap
perkembangan industry perbankan. Proses nasionalisasi perusahaan-perusahaan
belanda, juga dilakukan terhadap bank-bank milik belanda. Selanjutnya, situasi politik
yang berkembang sejak Dekrit pada 5 juli 1959 juga sangat besar pengaruhnya
terhadap industry perbankan di Indonesia, terutama dengan munculnya pemikiran
pembentukan bank tunggal, yaitu dengan menggabungkan semua bank termasuk bank
sentral menjadi bank Negara Indonesia.
Dengan berlakunya UU Nomor 13 tahun
1967 tentang pokok-pokok perbankan dan UU nomor 13 tahun 1968 tantang bank
Indonesia, maka berakhirlah sejarah bank tunggal. Dengan 2 UU tersebut,
industry perbankan selanjutnya ditata kembali. UU nomor 14 tahun 1967 mengatur
secara komprehensif system perbankan yang berlaku pada masa itu. UU tersebut
mengatur kembali tata perbankan nasional dengan harapan dapat lebih
dimanfaatkan untuk kepentingan perkembangan ekonomi dan moneter.
Prakarsa lebih khusus menegenai
pendirian bank islam di Indonesia baru dilakukan tahun 1990. Pada tanggal 18-20
agustus 1990, MUI menyelenggarakan lokakarya bunga bank dan perbankan di
cisarua, bogor jawa barat. Hasil lokakarya tersebut kemudian dibahas lebih
mendalam pada musyawarah nasional IV MUI di Jakarta dari tanggal 22-25 agustus
1990, yang menghasilkan amanat bagi pembentukan kelompok kerja pendirian bank
islam di Indonesia. Kelompok kerja dimaksud disebut tim perbankan MUI dengan
diberi tugas untuk melakukan pendekatan dan konsultasi dengan semuua pihak yang
terkait. Sebagai hasil kerja tim perbankan MUI tersebut adalah berdirinya PT
Bank Muamalat Indonesia , yang sesuai akta pendiriannya berdiri pada tanggal 1
november 1991. Sejak tanggal 1 mei 1992, BMI resmi beroperasi dengan modal awal
sebesar Rp 106.126.382.000,00. Sampai bulan September 1999, BMI telah memiliki
lebih dari 45 outlet yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Setalah
berdirinya BMI yang diikuti oleh berdirinya BPRS-BPRS lainnya dan terbuktinya
perbankan syariah tidak terkena imbas dari krisis moneter pada tahun 1998, maka
akhirnya diikuti oleh berdirinya perbankan-perbankan umum membangun perbankan
berbasis syariah.
Dalam perkembangannya, pengembangan
perbankan syariah ini mendapatkan wadah dengan lahirnya UU nomor 7 tahun 1992
tentang perbankan, yang memberikan kesempatan kepada perbankan untuk
menjalankan kegiatan usaha berdasarkan kepada prinsip konvensional dan prinsip
bagi hasil. kegiatan usaha perbankan berdasarkan prinsip dan operasionalisasi
perbankan berdasarkan prinsip syariah, yang kemudian dijabarkan lebih lanjut
melalui peraturan pemerintah nomor 72 tahun 1992 tentang bank berdasarkan
prinsip bagi hasil. peraturan pemerintah nomor 72 tahun 1992 mengatur lebih
lanjut ketentuan usaha bank berdasarkan prinsip bagi hasil.
Selanjutnya pemberlakuan UU nomor 10
tahu 1998 yang mengubah UU nomor 7 tahun 1992, telah memberikan landasan hokum
yang lebih kuat dan kesempatan yang lebih luas lagi bagi pengembangan perbankan
syariah di Indonesia. Perundang-undangan tersebut memberi kesempatan yang luas
untuk pengembangan jaringan perbankann syariah antara lain melalui izin
pembukaan kantor cabang syariah oleh bank konvensional. Dengan kata lain, bank
umum dimungkinkan untuk menjalankan kegiatan usahanya secara konvensional dan
sekaligus dapat melakukannya berdasarkan prinsip syariah. UU nomor 10 tahun
1998 menjadi dasar hokum bagi penerapan dual banking system di Indonesia.
Berdasarkan UU nomor 10 tahun 1998,
kedudukan perbankan syariah atau bagi hasil semakin kuat dan bahkan dapat
disejajarkan kedudukannya dengan perbankan konvensional. Karena system
perbankan nasional kita menganut dual banking system, maka oleh UU nomor 10
tahun 1998, bank umum yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional
diperkenankanuntuk melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip bagi hasil atau
prinsip syariah, baik itu dengan cara mendirikan kantor baru, mengkonversi
kantor lama menjadi kantor bank yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan
prinsip syariah, maupun membentuk unit usaha syariah yang tersendiri yang
melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah didalam kantor bank
yang bersangkutan. Sebagai implikasi penerapan dual banking sytem tersebut,
perbankan syariah tidak berdiri sendiri, sehingga dalam operasionalisasinya
masih menginduk kepada bank bank konvensional. Apabila demikian adanya
perbankan syariah hanya menjadi salah satu bagian dari program pengembangan
bank konvensional. Untuk mencapai tujuan yang diinginkan oleh perbankan
syariah, maka dibutuhkan kemandirian perbankan syariah dengan pengaturan secara
sendiri perbankan syariah.
Sejalan dengan perkembangan pesat
industry perbankan syariah dibawah UU nomor 10 tahun 1998 yang dimungkinkan
pula adanya berbagai penafsiran dalam penyusunan akad produk dan jasa perbankan
syariah yang dapat menimbulkan iklim usaha yang kurang kondusif bagi bank
syariah dan ketidakpastian bagi pihak terkait dan stekeholders. Oleh kerena itu
diperlukan pengaturan mengenai akad penghimpunan dan penyaluran dana bank
syariah. Hal ini dilakukan dalam rangka memelihara kepercayaan masyarakat
terhadap bank syariah, baik dari aspek finansial maupun kesesuaian terhadap
prinsip syariah yang menjadi dasar operasinya. Dengan adanya ketentuan mengenai
akad penghimpunan dan penyaluran dana bank syariah diharapkan akan memberikan
manfaat kepada semua pihak yang berkepentingan yang pada gilirannya akan
mewujudkan pengelolaan bank syariah yang sehat. Selain itu, kejelasan akad akan
membantu operasional bank, sehingga menjadi lebih efesien dan meningkatkan
kepastian hokum para pihak termasuk bagi pengawas dan auditor bank syariah.
Berdasarkan pertimbangan tersebut
dan sesuai dengan kewenangannya sebagai otoritas perbankan, maka BI menetapkan
peraturan bank Indonesia nomor 7/46/PBI/2005 tentang akad penghimpunan dan
penyaluran dana bagi bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip
syariah. Ketentuan persyaratan minimum akad penghimpunan dan penyaluran dana
bagi bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah
sebagaimana termuat dalam peraturan bank Indonesia nomor 7/46/PBI/2005 disusun
berpedoman kepada fatwa yang diterbitkan oleh DSN dengan memberikan penjelasan
lebih rinci aspek teknis perbankan guna menyediakan landasan hokum yang cukup
memadai bagi para pihak yang berkepentingan.
Ketentuan persyaratan minimum akad
penghimpunan dan penyaluran dana bank syariah tersebut mengikuti proses yang
berkesinambungan dengan memperhatikan perubahan dan perkembangan kondisi
regulasi dan system perundangan yang berlaku.
- Dasar hokum regulasi perbankan
syariah
Perbankan yang ada di awal-awal
kemerdekaan sampai dengan adanya deregulasi perbankan pada tahun 1998 merupakan
bank yang secara keseluruhan mendasarkan pengelolaannya pada prinsip bunga (interest).
Seiring dengan banyaknya tuntutan masyarakat yang menghendaki suatu lembaga
keuangan yang bebas dari bunga(riba), maka dibutuhkan rangkaian upaya secara
yuridis dan kelembagaan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat tersebut. Secara
hokum telah terakomodasi dalam UU nomor 7 tahun 1992 yang secara implisit telah
membuka peluang kegiatan usaha perbankan yang memiliki dasar operasional bagi
hasil.
Berdasarkan UU nomor 7 tahun 1992
tentang perbankan, peraturan pelaksanaan mengenai bank berdasarkan prinsip bagi
hasil atau bank berdasarkan prinsip syariah atau perbankan syariah diatur atau
ditetapkan lebih lanjut dalam peraturan pemerintah. Dalam pasal 6 huruf m dan
pasal 13 huruf c UU nomor 7 tahun 1992 menegaskan, bahwa bank umum dan bank
perkreditan rakyat dapat menjalankan kegiatab usaha dengan menyediakan
pembiayaan bagi nasabah berdasarkan prinsip bagi hasil sesuai dengan ketentuan
yang ditetapkan dalam peraturan pemerintah. Ketentuan ini menjadi landasan
hokum bagi pendirian bank berdasarkan prinsip bagi hasil. pengaturan mengenai
bank berdasarkan prinsip bagi hasil dimaksud lebih lanjut dituangkan dalam peraturan
perundangan nomor 72 tahun 1992 tentang bank berdasarkan prinsip bagi hasil.
Namun seiring dengan lahirnya UU
nomor 10 tahun 1998, ketentuan yang termuat dalam peraturan pemerintah nomor 72
tahun 1992 dicabut dengan peraturan pemerintah nomor 30 tahun 1999 tentang
pencabutan peraturan pemerintah nomor 70 tahun 1992 tentang bank umum
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan peraturan pemerintah
nomor 73 tahun 1998, peraturan pemerintah nomor 71 tahun 1992 tentang bank
perkreditan rakyat dan peraturan pemerintah nomor 72 tahun 1992 tetang bank
berdasarkan prinsip bagi hasil. hal ini sesuai dengan amanat UU nomor 10 tahun
1998 yang menyatakan bahwa ketentuan pelaksanaan mengenai bank berdasarkan
prinsip syariah ditetapkan oleh BI.
Dalam UU nomor 10 tahun 1998,
eksistensi bank berdasarkan prinsip syariah atau perbankan syariah dinyatakan
dalam salah satu kegiatan usaha perbankan, yang dapat dijalankan oleh bank umum
dan bank perkreditan rakyat, kendati pun dengan perumusan yang berbeda. Sebagaimana
dikemukakan sebelumnya, berkaitan dengan kegiatan usaha bank umum, ketentuan
dalam pasal 6 huruf m UU nomor 10 tahun 1998 menetapkan, bahwa :
Bank
umum menyediakan pembiayaan dan/atau
melakukan kegiatan lain berdasarkan prinsip syariah, sesuai dengan ketentuan
yang ditetapkan oleh bank Indonesia.
Demikian pula berkaitan dengan kegiatan usaha bank perkreditan rakyat,
ketentuan dalam pasal 13 huruf c UU nomor 10 tahun 1998 menetapkan, bahwa :
Bank
perkreditan rakyat menyediakan pembiayaan dan penempatan dana berdasarkan
prinsip syariah, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh bank Indonesia.
Selain itu, eksistensi bank berdasarkan prinsip syariah atau perbankan
syariah dinyatakan pula dalam ketentuan pasal 1 angka 3 UU nomor 10 tahun 1998
yang menetapkan, bahwa :
Bank
umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan/atau
berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu
lintas pembayaran.
Kemudian dalam ketentuan pasal 1 angka 4 UU nomor 10 tahun 1998 yang
menetapkan, bahwa :
Bank
perkreditan rakyat adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara
konvensional dan/atau berdasarkan berdasarkan prinsip syariah yang dalam
kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.
Dengan demikian, ketentuan dalam
pasal-pasal UU nomor 7 tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan UU nomor 10
tahun 1998 merupakan dasar hokum pengaturan dan eksistensi penyelenggaraan
kegiatan usaha perbankan yang operasionalisasinya berdasarkan system/prinsip
syariah, yang secara rinci ketentuannya akan diatur lebih lanjut oleh BI
sebagai otoritas perbankan(syariah). Hal ini dengan amandemen UU nomor 7 tahun
1992 melalui UU nomor 10 tahun 1998 yang antara lain isinya memberikan
kewenangan penuh pengaturan perbankan kepada bank Indonesia (sebelumnya
kewenangan berada pada menteri keuangan) dan bank Indonesia berdasarkan UU
nomor 10 tahun 1998 dan UU nomor 23 tahun 1999 tentang bank Indonesia,
berwenang untuk menerbitkan peraturan pelaksanaan dari kedua UU, maka sejak
tahun 1999 peraturan pelaksanaan yang mengatur perbankan yang semula berupa
peraturan pemerintah diganti dengan peraturan bank Indonesia (PBI), yang
sebelumnya disebut surat keputusan direksi bank Indonesia (SKBI).
BAB III
KESIMPULAN
Dengan diberlakukannya Undang –
Undang nomor 10 tahun 1998, maka legalitas hokum bank, baik dari aspek
kelembagaan dan kegiatan usaha bank syariah telah diakomodir dengan jelas dan
menjadi landasan yuridiris yang kuat bagi perbankan dan para pihak yang
berkepentingan. Undang – Undang nomor 10
tahun 1998 tersebut telah memberikan peluang yang semakin besar bagi
berkembangnya bank – bank syariah.